Tentang Memilih dan Pilihan (Bagian 1)

by - January 16, 2020


Dulu saya pernah nge-tweet terkait memberi semangat teman-teman untuk siapa saja yang menempuh jalan kebaikan di mana pun berada, untuk kalian yang memilih jalan perjuangan, dan untuk kalian yang menjalani kehidupan sebagai penikmat. Semua baik dengan cara kalian masing-masing kok.

Anyway, I’ve just met with my friends some days ago, yeay. Lama banget udahan. Di sini saya nggak Cuma ketemu teman SMA aja ya, termasuk teman yang menjerumuskan saya ke dalam lingkaran yang sekarang juga (buat yang tau aja lah wkwk). Setelah meet up biasa lah saya mengambil hikmah dari pembicaraan teman-teman haha. I think that every single has choice in their life and every choice has reason why you choose them. Tiap orang memiliki pilihannya masing-masing dan alasan tertentu why you do it. Yak hal serupa telah saya lihat dari teman-teman SMA yang sudah lulus. Hidup lebih banyak warna saat kita menginjak usia dewasaa. Ketika masa dibangku-bangku pelajar hidup memang masih monoton mayoritas. Sama-sama menempuh pilihan bersekolah, pakai seragam sama, uang saku beda tipis lah antar anak, punya tujuan jangka pendek yang sama; yang SD bercita-cita msuk SMP favorit dan yang SMP bercita-cita masuk SMA favorit. Saat lulus SMA, pilihan hidup lebih berwarna. Ya tau lah ya nggak usah saya sebutin warna-warna kehidupan. Kecuali, anda dibesarkan dalam keluarga yang spesial, akan beda cerita. Misalkan anda tumbuh dalam keluarga yang membebaskan anda untuk memilih karirnya selain bersekolah ‘formal’ saat usia muda. Adaa teman saya, masih usia se-anak SMP sudah punya banyak skill, sudah berpenghasilan, dan sudah memiliki jam terbang tinggi.


Kadang itu saya senang waktu lihat teman-teman sudah (berani) menentukan pilihan mereka dengan resiko masing-masing yang dibawa pada tiap pilihan tersebut. Oh you’re all grown up dear. Semangat kalian semua yang menempuh jalan kebaikan melalui pilihan kalian. Setiap pilihan tersebut ada alasan kuat yang membuat kalian bertahan dalam pilihan terserbut. Jangan sampai goyah.

Cuma yang membuat saya miris ini ya, ketika kita sudah saling menghargai pilihan masing-masing, masih banyak teman-teman yang mengutuki pilihan dengan pikiran-pikiran sempit. Membatasi pilihan tersebut dengan angan-angan yang kurang open minded. Contohnya masih banyak yang mengutuki pilihan jurusan dengan membatasi ruang pekerjaan nantinya. Padahal kita ini sudah hidup di era milenial, masih aja mengkotak-kotakkan jurusan dengan pekerjaan. Eh Dev, tunggu dulu, ya bebas lah orang mau mengkaitkan dengan pekerjaan, kan setiap pilihan seseorang diambil berdasarkan ‘apa niatnya?’, ‘apa tujuannya?’. Kalau memang pribadi itu memiliki alasan yang menurutnya terbaik buat dirinya, ya sepakat. Yang nggak sepakat ketika muncul virus membanding-bandingkan dengan orang lain dan lupa bahwa yang ‘terbaik’ selalu bergantung pada kondisi masing-masing pribadi kan?

Jangan sampai menjebak diri sendiri sebab memilih demi memenuhi tuntuan persepsi orang. Contohnya, ibu rumah tangga buka usaha biar terlihat bekerja oleh keluarga besar. Justru saya salut sama orang-orang yang bisa bodo amat sama apa yang dikatakan orang, hingga akhirnya menekuni pilihannya dengan alas an yang logis. Ambil contoh, saya ada teman (seorang lelaki sudah dewasa), tiap hari di rumah dan sibuk mengurus bocil-bocil yang pengen bisnis lah, yang pengen dakwah lah, yang pengen jadi pembicara lah. Dia bodo amat sama persepsi tetangga tentang dirinya.

Ada juga yang terjebak dalam pilihan yang diputuskan oleh orang tua. Parahnya, kadang pilihan orang tua untuk anaknya bisa menjerumuskan anaknya ke masalah yang lebih pelik. Contohnya, harus diterima FK biar nggak malu-maluin keluarga, eh ujung-ujungnya nggak niat sekolah terus narkoba, atau disuruh beli rumah karena sudah nikah lima tahun masih nebeng orang tua, terus dicariin hutang-hutangan.

Banyak dari kita pula sulit memutuskan sesuatu karena orang tua punya pilihan lain, dan terkadang hal itu terjadi karena kita masih bergantung finansial sama orang tua. Kamu ngga mau nurut kita, uang bulanan kamu nggak mengalir di rekening. Statement terakhir saya buktikan bulan Desember kemarin saya diberi kebebasan dalam memilih karena orang tua sudah ‘mulai percaya’ anaknya tumbuh dewasa didukung mindset “oh nih anak bisa cari duit sendiri”.

Baca: Bertumbuh

Cuma banyak juga yang mengambil suatu pilihan atas dasar pelampiasan suatu kondisi. Menjadikan suatu kondisi sebagai alasan dalam mengambil sebuah pilihan. Contoh yang marak terjadi, nikah aja ah soalnya nganggur abis wisuda, hehe, atau ambil s1 aja ah soalnya abis D3 nganggur, mau kerja juga gajinya nggak worth it, ups. Mau mulai buka usaha tapi ada banyak amanah, hehe, ini relate sama kalangan aktifis. Saya mengambil contoh yang relate banget sama sekitar saya atau malah pengalaman pribadi wkwkwk.

Terus gimana caranya ambil pilihan yang tepat? Kayak semuanya serba salah aja..



***
Tulisan ini muncul saat saya baru menyadari bahwa sisi gelap kehidupan memang ada dan saya melihat sangat tidak jauh dari lingkungan saya. Ditambah materi saat bedah buku Arah Musim membuat saya semakin berkontemplasi sama kehidupan.


Baca: Me Time



#30haringeblog
#30haribercerita
#challenge30haringeblog
#30harinulisblog 
#harikeduabelas

You May Also Like

0 komentar