Tentang Memilih dan Pilihan (Bagian 1)
Dulu saya
pernah nge-tweet
terkait memberi semangat teman-teman untuk siapa saja yang menempuh jalan
kebaikan di mana pun berada, untuk kalian yang memilih jalan perjuangan, dan
untuk kalian yang menjalani kehidupan sebagai penikmat. Semua baik dengan cara
kalian masing-masing kok.
Anyway, I’ve just met with my friends some days ago,
yeay. Lama banget udahan. Di sini saya nggak Cuma ketemu teman SMA aja ya,
termasuk teman yang menjerumuskan saya ke dalam lingkaran yang sekarang juga (buat
yang tau aja lah wkwk). Setelah meet up biasa lah saya mengambil hikmah
dari pembicaraan teman-teman haha. I
think that every single has choice in their life and every
choice has reason why you choose them. Tiap orang memiliki pilihannya masing-masing dan alasan
tertentu why you do it. Yak hal
serupa telah saya lihat dari teman-teman SMA yang sudah lulus. Hidup lebih
banyak warna saat kita menginjak usia dewasaa. Ketika masa dibangku-bangku
pelajar hidup memang masih monoton mayoritas. Sama-sama menempuh pilihan
bersekolah, pakai seragam sama, uang saku beda tipis lah antar anak, punya
tujuan jangka pendek yang sama; yang SD bercita-cita msuk SMP favorit dan yang
SMP bercita-cita masuk SMA favorit. Saat lulus SMA, pilihan hidup lebih
berwarna. Ya tau lah ya nggak usah saya sebutin warna-warna kehidupan.
Kecuali, anda dibesarkan dalam keluarga yang spesial, akan beda cerita.
Misalkan anda tumbuh dalam keluarga yang membebaskan anda untuk memilih karirnya
selain bersekolah ‘formal’ saat usia muda. Adaa teman saya, masih usia se-anak
SMP sudah punya banyak skill, sudah berpenghasilan, dan sudah memiliki jam
terbang tinggi.
Baca: Pelajar TingkatAkhir
Kadang itu saya senang
waktu lihat teman-teman sudah (berani) menentukan pilihan mereka dengan resiko
masing-masing yang dibawa pada tiap pilihan tersebut. Oh you’re all grown up dear. Semangat kalian semua yang menempuh jalan
kebaikan melalui pilihan kalian. Setiap pilihan tersebut ada alasan kuat yang
membuat kalian bertahan dalam pilihan terserbut. Jangan sampai goyah.
Cuma yang membuat saya
miris ini ya, ketika kita sudah saling menghargai pilihan masing-masing, masih
banyak teman-teman yang mengutuki pilihan dengan pikiran-pikiran sempit.
Membatasi pilihan tersebut dengan angan-angan yang kurang open minded. Contohnya masih banyak yang mengutuki pilihan jurusan
dengan membatasi ruang pekerjaan nantinya. Padahal kita ini sudah hidup di era
milenial, masih aja mengkotak-kotakkan jurusan dengan
pekerjaan. Eh Dev, tunggu dulu, ya bebas lah orang mau mengkaitkan dengan
pekerjaan, kan setiap pilihan seseorang diambil berdasarkan ‘apa niatnya?’,
‘apa tujuannya?’. Kalau memang pribadi itu memiliki alasan yang menurutnya
terbaik buat dirinya, ya sepakat. Yang nggak sepakat ketika muncul virus
membanding-bandingkan dengan orang lain dan lupa bahwa yang ‘terbaik’ selalu
bergantung pada kondisi masing-masing pribadi kan?
Jangan sampai menjebak diri sendiri sebab
memilih demi memenuhi tuntuan persepsi orang. Contohnya, ibu rumah tangga buka
usaha biar terlihat bekerja oleh keluarga besar. Justru saya salut sama
orang-orang yang bisa bodo amat sama apa yang dikatakan orang, hingga akhirnya
menekuni pilihannya dengan alas an yang logis. Ambil contoh, saya ada teman
(seorang lelaki sudah dewasa), tiap hari di rumah dan sibuk mengurus
bocil-bocil yang pengen bisnis lah, yang pengen dakwah lah, yang pengen jadi
pembicara lah. Dia bodo amat sama persepsi tetangga tentang dirinya.
Ada juga yang terjebak dalam pilihan yang
diputuskan oleh orang tua. Parahnya, kadang pilihan orang tua untuk anaknya
bisa menjerumuskan anaknya ke masalah yang lebih pelik. Contohnya, harus
diterima FK biar nggak malu-maluin keluarga, eh ujung-ujungnya nggak niat
sekolah terus narkoba, atau disuruh beli rumah karena sudah nikah lima tahun
masih nebeng orang tua, terus dicariin hutang-hutangan.
Banyak dari kita pula sulit memutuskan
sesuatu karena orang tua punya pilihan lain, dan terkadang hal itu terjadi
karena kita masih bergantung finansial sama orang tua. Kamu ngga mau nurut
kita, uang bulanan kamu nggak mengalir di rekening. Statement terakhir saya
buktikan bulan Desember kemarin saya diberi kebebasan dalam memilih karena
orang tua sudah ‘mulai percaya’ anaknya tumbuh dewasa didukung mindset “oh
nih anak bisa cari duit sendiri”.
Cuma banyak juga yang mengambil suatu pilihan
atas dasar pelampiasan suatu kondisi. Menjadikan suatu kondisi sebagai alasan
dalam mengambil sebuah pilihan. Contoh yang marak terjadi, nikah aja ah
soalnya nganggur abis wisuda, hehe, atau ambil s1 aja ah soalnya abis D3
nganggur, mau kerja juga gajinya nggak worth it, ups. Mau mulai buka
usaha tapi ada banyak amanah, hehe, ini relate sama kalangan
aktifis. Saya mengambil contoh yang relate banget sama sekitar saya atau
malah pengalaman pribadi wkwkwk.
Terus gimana caranya ambil pilihan yang
tepat? Kayak semuanya serba salah aja..
***
Tulisan ini muncul saat saya baru menyadari
bahwa sisi gelap kehidupan memang ada dan saya melihat sangat tidak jauh dari
lingkungan saya. Ditambah materi saat bedah buku Arah Musim membuat saya
semakin berkontemplasi sama kehidupan.
Baca: Me Time
#30haringeblog
#30haribercerita
#challenge30haringeblog
#30harinulisblog
#harikeduabelas
#harikeduabelas
0 komentar