Seruan Menjadi Lilin (Part 1)
Setelah saya mendapat informasi dari
SIAM (website laporan mahasiswa UB), oke saya cukup terkejut dengan hasilnya,
sangat-sangat di luar dugaan. Alhamdulilah dalam kategori memuaskan lah buat
orang tua, apalagi saya haha. Habis kejadian itu saya jadi mikir dan merenung.
Dan saya bakal sharing hasil mikir dan merenung saya.
Dimulai saat takdir berkata saya harus
menuntut ilmu di bidang Sastra Inggris. Saya nggak tau harus senang, sedih,
kecewa, bahagia, tapi saya tetap bersyukur. Karena dari awal saya nggak pernah
ada niatan untuk menekuni bidang tersebut, sangat jauh ekspektasi saya buat
menekuni bidang tersebut. Iya, ibu saya yang minta, udah nurut aja, bukannya kalau nurut bakal ada hadiah spesial dari Allah?Kemudian saya berusaha membohongi diri saya (mungkin)
untuk tidak kecewa. Padahal saya bukan tipe orang yang gampang kecewa. Dengan
pikiran-pikiran di otak saya; yes, saya bisa jadi aktifis kampus alias aktif di
banyak organisasi, yes, saya bisa nulis puisi bahasa inggris nanti (dari dulu
pengen belajar majas dalam bahasa inggris kayak gimana), yes, saya bisa ikut
banyak kegiatan. Okey, itu ekspektasi saya sebelum mengetahui realitanya wkwkwk.
Sebenarnya saya dari awal udah kayak let it flow gimana
akademik saya setelah tau realita di kelas bersama dosen wkakaka. Yah
suasananya kayak kuliah di luar negeri dong, everything use
english language. Yaiyalah kan dirimu berada di pembelajaran Sastra
INGGRIS. Oke mari kita lihat nanti bagaimana saya menyikapi hal tersebut.
Lama-kelamaan juga bakal terbiasa pakai bahasa inggris kok. Cuma yaaa (waktu
itu) saya ragu bisa nggak ya waktu UTS dan UAS nanti. Mengingat saya kan
anaknya suka main-main ke penjuru UB tuh kepoin sesuatu, nyasar di sekret
Teknik juga pernah padahal disitu banyak tulisan “Kawasan Steril Maba”. Wkwkwk,
saya nyesel nggak foto dengan tulisan itu. Kalau udah pernah main ke sekret
Teknik, pastinya saya sudah pernah ke perpus FIB dong. Disitu saya coba kepoin
soal-soal UTS dan UAS Sastra Inggris tahun sebelumnya. Eh eh kaget dong saya
sebagai maba, ini soal apaan, artinya apa, kok vocab-nya jarang
diketahui. Hmm diri ini semakin takut. Oke, hadapi aja dulu, saya berusaha
menenangkan diri.
Ketakutan saya di akademik tidak
menghilangkan niat awal saya di kampus perjuangan. Tidak membuat saya apatis
dan jauh dari kata organisasi. Saya daftar Eksekutif Mahasiswa lah wkwk, bem
tingkat univ, yang terkenal dengan sibuk banget pokok, katanya loh. Toh kalau
misal IP saya nggak memenuhi keinginan orang tua yaudahlah (sempat) ada niatan merealisasikan planning D.
Astagfirullah. Saya selalu diliputi perassaan dan kekhawatiran apakah saya tahun depan masih bisa merasakan serunya membersamai orang-orang dalam berjuang? Makanya berulang kali saya bilang ke teman, “Iya kalau saya masih di sini, eh nggak tau ya, lihat nanti aja”. Karena saya ragu, apakah saya akan tetap di kampus ini? Itu ekspektasi saya di awal jadi mahasiswa. Sebelum pada akhirnya saya terjun ke realita kampus sebenarnya. Sebelum saya mengenal kata ‘perjuangan’ membersamai teman-teman yang Masya Allah sekali. Walaupun begitu. Tetap kekhawatiran saya terhadap akademik masih ada.
Astagfirullah. Saya selalu diliputi perassaan dan kekhawatiran apakah saya tahun depan masih bisa merasakan serunya membersamai orang-orang dalam berjuang? Makanya berulang kali saya bilang ke teman, “Iya kalau saya masih di sini, eh nggak tau ya, lihat nanti aja”. Karena saya ragu, apakah saya akan tetap di kampus ini? Itu ekspektasi saya di awal jadi mahasiswa. Sebelum pada akhirnya saya terjun ke realita kampus sebenarnya. Sebelum saya mengenal kata ‘perjuangan’ membersamai teman-teman yang Masya Allah sekali. Walaupun begitu. Tetap kekhawatiran saya terhadap akademik masih ada.
“Saya dulu niat
kuliah sambil belajar agama. Saya pengen kuliah di UB karena hati saya tertarik
dengan masjid raden patah. Dan di sini saya mengenal kata ‘perjuangan’ dan
dakwah”.
Mungkin semacam itu kata-kata yang
pernah saya dengar dan masih saya ingat sampai sekarang. Kata-kata yang masih
nempel di otak saya sampai sekarang. Itu adalah ucapan dari guru saya. Guru
diskusi, guru ngisi kajian, guru sebagai teman, ustad saya, tapi beliau nggak
mau dipanggil ustad wkwk. Setelah saya mendengar ucapan beliau, langsung saya
tanamkan dalam diri saya, let do it. Ya
namanya kalau udah niat, ya saya totalitas lah ya. Prinsip itu bener-bener saya
pegang.
Saya juga mikir, sayang banget kalau
aktivitas dakwah yang sempat menjadi bagian rutinitas saya di Nganjuk
terlewatkan dan berhenti setelah saya menjajaki kota orang. Jadi, dakwah itu
tetap harus berlanjut dimana pun saya ditempatkan oleh Allah. Dan Allah Maha
Baik deh, memberikan peluang dakwah yang tipe saya bangettt. wkwk.
Oke kisah ini saya awali dari ospek
fakultas. Cukup terkejut ketika melihat manusia-manusia yang ada di barisan
ospek dan panitianya. Saya amati satu-satu panitia ospek. What? Nggak ada yang
pakai rok? Nggak ada yang pakai jilbab versi saya? Oke mari kita lihat
nanti. Tambah syok saya waktu ospek kan salat nah itu wudhunya di tempat
terbuka. Ya gimana ya kepaksa gua. Waktu saya tau gimana kondisi fakultas lain,
saya jadi ngiri dan tambah ragu. :(
Hmm okey mari kita lihat episode
selanjutnya saat memasuki kelas. Sama aja. Teman-teman saya nggak ada yang pake
rok. Oke saya tahan keterkejutan saya. Tapi lama-lama ada
kok yang pakai satu-dua walaupun gak pake rok terus. Terus saya ingat
pengalaman guru saya itu kalau beliau pernah rapat di ruang seni rupa FIB dan
di bawah meja banyak botol minuman keras. Dari situ keterkejutan saya mulai
memudar. Ohh oke jadi fakultas ini karakternya gini toh. Masuk fakultas ini
kadang bau asap rokok sangat kental. Oke. Cewek nge-rokok di depan fakultas
sudah menjadi hal yang biasa. Oke, saya pelajari alurnya ya sambil nahan kaget
wkwk. Kalau ada acara pada malam hari terus ada budaya minum dari kakak tingkat
yang diajarkan ke adik tingkat, oke saya berusaha memahami kebiasaan fakultas
ini. Ospek jurusan yang bernuansa kayak dugem bareng kating. jadinya enak
dong nggak ada bentak-bentakan di ospek. Oke catet. Ya... begitulah
serentetat realita yang saya dapat.
Baca: OSPEK Part III: Kabur
Baca: OSPEK Part III: Kabur
Realita tersebut merombak seluruh planning saya.
Awalnya saya sudah pamit orang tua mau ikut himpunan mahasiswa, dan sempet saya
pasang target jadi ketua/wakil ketua hima. Coret planning ini.
Lo nggak bakal kuat dan sulit buat membawa pengaruh, serta ini bukan dunia lo
Dev. Oke. Saya berniat ikut lembaga pers di fakultas, coret, karena syarat
lembaga pers harus tidak berpihak ke pihak manapun, sedangkan saya sudah
tergabung dalam ‘tempat keberpihakkanku’. Rasanya saya mual dengan segala
kegiatan di jurusan dan fakultas. Saya yang waktu itu masih maba langsung
memberi judge semacam itu. Saya nggak mau deh ikutan apa-apa di fakultas dan jurusan.
Apatis ah di fakultas dan jurusan. Pikiran saat saya masih bening-bening jadi
maba. Terus saya mikir, kalau gitu gimana saya dapat kenalan kakak tingkat,
apalagi mahasiswa itu pasti butuh kating (heleh). Apalagi saya masih punya
masalah di akademik, pastinya butuh bantuan kating. Haduh piye iki. Saya butuh
kenalan kating terutama Sastra Inggris tapi yang setipe sama gua, biar gua
nyaman. Saya juga butuh temen buat ikutan lomba-yang setipe sama lomba
saya. Eh mereka tidak mau. Bingung saya.
0 komentar