(Yang Katanya Pengen Ber-) Kontribusi

by - November 30, 2018



Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. Q.S. Al-Balad 90:4

Ayat di atas mengingatkan saya bahwa ternyata konsekuensi menjadi manusia adalah berlelah-lelah atau bercapek-capek. Semua yang menyandang label manusia dan bertamu pada bumi ini beresiko untuk merasakan lelah dan capek. Sebab Allah telah mengatakannya pada ayat di atas dengan menyebut langsung kepada 'manusia' bukan orang-orang yang beriman, orang-orang yang bertakwa, dan sebagainya.

Jadi. Pertanyaannya, capek yang begimana ini? Jangan sampai kita super duper sibuk, menjalani hari-hari dengan kehetic-an yang pada akhirnya hanya berbuah angka nol saja. Mungkin di dunia akan bernilai, tetapi bagaimana dengan penilaian pasca kematian? 

Katakanlah: “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Q.S. Al-An’am 6:162

Sebuah koreksi kembali terkhusus bagi diri saya sendiri. "Jadi, selama ini,  hidup kamu sudah untuk Allah?  Oh no!  I mean, sudah melibatkan dan menyelipkan niat karena Allah?". Sebuah tamparan keras setelah 18 tahun masih bernafas hingga sekarang.

Yuk mulai cerita...,

Bermula dari pertanyaan yang anggaplah semacam ini, "Aku mengenalmu anti organisasi inti di sekolah. Sekarang kamu menjadi salah satu aktifis di kampus, memang hanya beberapa bulan saja. Aku terkejut". 

"Ah, jangan melabeli saya dengan kata-kata aktifis. Belum pantas untuk disematkan bagi saya, pemuda yang baru belajar dan belum berkontribusi apa-apa"

Oke. Saya selalu memiliki perspektif yang salah mengenai OSIS. Pemikiran negatif yang meracuni saya sebagai seorang anti osis adalah ngapain jadi anak osis, jadi pembantu sekolah. Maaf jika menyinggung hati. Bahkan saya pun tidak aktif di organisasi sekolah. Hanya mengikuti ekstra jurnalistik yang berlabel saja, tidak terlalu aktif juga. 

Beruntung saya keracunan pemikiran negatif semacam itu haha. Karena tidak banyak energi yang saya keluarkan dikala niat yang tidak benar dan tidak tau harus berniat semacam apa. Tetapi rugi juga saya punya pikiran negatif semacam itu sampai-sampai anti osis hahaha. Mensia-siakan peluang akhirat. 

Beruntung Allah Maha Baik memberi amanah saya pada organisasi luar sekolah pada ranah dakwah. Tidak terlalu kecewa akan masa silam di atas. Sebab pada akhir menjadi pelajar, saya kecewa berat karena tidak aktif di organisasi ekstrakurikuler yang membuat saya sedikit punya piagam pengalaman organisasi. Ahh itu hanya piagam Devvv. Jadi kamu organisasi karena piagam? Beruntung pikiran itu muncul saat pendaftaran beasiswa pasca pelajar. Dan benar saya ditolak beasiswa menumbuhkan penyesalan yang tidak lama akibat tidak ikut organisasi sekolah.

Tapi Allah menunjukkan dan mengingatkan akan nikmat-Nya yang luar biasa. Bukan perihal soal piagam saat kita berkomunitas. Bukan juga tentang pengalaman saja. Lebih dari itu Allah menunjukkan makna sebenarnya. Berkat pengalaman saya dalam merintis dan mengembangkan organisasi dakwah dengan pencitraan segala macam hahaha, dan untungnya saya melakukannya ikhlas tanpa rasa sesal dan mengharapkan sesuatu (saya tidak tau bagaimana hati saya bisa seperti itu kala itu). Semua estafet yang pernah saya bangun bersama teman-teman super luar biasa berdampak pada diri saya di masa sekarang. Saya tak mampu menjelaskan detail di sini, poinnya adalah konsep dakwah dan konsep melibatkan Allah, serta mengingat selalu penilaian pasca kematian tertanam betul dalam diri saya yang sekarang sedang menapak di tanah rantau. Saya menjadi orang yang memilah dan memilih dalam melakukan sesuatu,, salah satunya memilih organisasi. Mencari pengalaman bukan menjadi alasan utama dalam ikut berorganisasi atau projek lainnya. Tetapi tujuan dan niat yang melibatkan dan memgingat Allah lah yang menjadi prioritas. Benar saja, saya tidak mengikuti ukm di univ satu pun. Entah kenapa perpolitikan kampus menjadi wejangan dalam mempersiapkan menghadapi realita politik kejam yang nyata. Sebab kampus seperti miniatur negara dengan agenda dibalik layar yang selalu ada. #asumsianakmudayangsoktau. Iya. Maaf kalau sok tau. Saya juga belum mengerti, hanya paham satu kata, mungkin. 

Intinya adalah, kontribusi sebagai manusia yang masih diberikan label 'Maha' dalam menjadi siswa. Kontribusi yang bukan perihal 'mencari pengalaman' saja, kalau niatnya begitu, rugi, manfaatnya cuman buat diri sendiri, yaitu pengalaman.

Seharusnya. Jadikan kontribusi yang kalian berikan sebagai peluang kembali ke kampung halaman. Hah maksudnya? Kamu terlalu berbelit-belit Devanda. Inget, pasca kematian akan ada rumah untukmu tinggal selamanya dan jangan lupa akan ada pertanyaan "Usia masa muda untuk apa?".

Setiap kontribusi yang kalian berikan jadikan juga sebagai ladang dakwah walaupun hanya dari dakwah perilaku. Maka mereka akan paham. Lalu, pikirkan kembali apakah kegiatan yang akan saya ikuti mampu berefek pasca kematian dengan menuai benih di surga? 

Jadi, lelah karena Lillah ini maksudnya? 

Yha bukan berarti kita harus berkontribusi pada kegiatan yang berlabel islam atau menyatakan terang-terangan dakwah. Tapi silahkan berkontribusi di mana saja, bahkan mungkin di kursi-kursi politik, dengan niatkan yang lurus sehingga mampu membuat jejak abadi di kampung halaman—surga. 

Jangan berhenti untuk terus berkontribusi karena negara dan dunia ini terus meminta dan memanggil lelah dan capekmu dalam berkontribusi, yang berujung karena Allah. 

Tapi, hati-hati. Jangan sampai syaitan yang terkutuk menghasutmu dengan melabeli atau menganggap bahwa tiap aktifitas kita sudah karena Lillah. Sebab dapat berakibat pada kepuasan diri yang kemudian muncul bisikan, "Istirahat, kamu udah berlelah karena Lillah kok", membuat kita tidur pada zona nyaman dan malas untuk bergerak lagi. Ingat, yang menilai karena Lillah biarlah Allah. Kita boleh menilai begitu tapi tetap bertanya, "Bagaimana jika ternyata aktifitas saya belum Lillah? Jadi saya harus tetap bergerak, beraktifitas dan berlelah dalam jalurnya".

---
"Apakah kebaikan itu akan kita perjuangkan sendiri atau kita biarkan orang lain yg memperjuangkan?"
---

Belum selesai. Masih ada pembaca yang bingung. 

Sederhananya begini, kalau Indonesia dipimpin oleh orang yang ternyata ingin menghancurkan Pancasila dan menggantinya dengan ideologi komunis, bahaya kan? Makanya pemimpin Indonesia harus nasionalis dan benar-benar cinta tanah air menegakkan ideologi pancasila. 

Sama, dalam sebuah komunitas atau miniatur organisasi, jika peran-peran terpenting seperti pemimpin diisi orang-orang yang belum mendapat hidayah dari Allah, yang berakibat tidak tegaknya perintah Allah, semisal rapat tanpa jeda dari sore-malam sehingga salat maghrib terlewatkan. Oleh karenanya posisi-posisi penting harus diisi oleh orang-orang yang stay on Allah. Entah darimana pun pejuang itu, yang pasti ia berpegang teguh pada agama Allah. 

Nah, pertanyaannya, sekali lagi saya ulang, "Apakah kebaikan itu akan kita perjuangkan sendiri atau kita biarkan orang lain yg memperjuangkan?".

Problem di atas mengakibatkan kita sebagai hamba Allah harus mengambil peran tersebut. Nah apakah kalian yang hanya menjadi penikmat atas kesuksesan teman-teman kalian yang memperjuangkan tegaknya agama Allah—kalian jadi mudah beribadah, contoh kecilnya, atau menjadi yang memperjuangkannya?

Banyak yang sudah paham mungkin. Tapi juga ada banyak yang belum paham. 



Maaf jika tulisan ini terlalu fanatik. 




Salam cinta,
Anak Muda yang baru belajar sudah sukak berasumsi 






You May Also Like

0 komentar