Netizen di Dunia Maya

by - September 11, 2018


Semakin terjangkaunya harga smartphone dan kuota internet membuat akses internet di Indonesia jadi kian mudah. Alhasil pengguna internet di Indonesia pun membludak. Semua golongan pasti familiar dengan internet. Kemajuan teknologi yang demikian nggak lantas membuat masyarakat Indonesia mengubah tabiatnya untuk menjadikan internet sebagai jendela dunia kedua setelah buku. Nafsu untuk kepoin ‘bagaimana Dr. Pearson berusaha membuat robot sex?’ telah terkalahkan dengan rasa keingintahuan terhadap kehidupan orang lain yang notabenen buat menebarkan noda hitam seseorang.

Yak. Kini sosial media perannya mulai bergeser. Pengguna yang hidup di era milenial ini menggunakan platform sosial media secara anonim. Dengan menyembunyikan identitas asli dibalik nama misterius membuat mereka lebih leluasa ngomporin manusia atau sekumnpulan manusia lainnya, yang mereka anggap perilaku atau sesuatu dari manusia-manusia itu patut untuk diviralkan. Sebenarnya mereka-mereka yang hobi ngomporin atau menebar isu kebencian ini tau resiko dari perilaku mereka. Mereka paham nantinya orang-orang yang mereka komporin bakal marah dan minta pertanggungjawaban kalau manusia-manusia yang menjadi korban tau siapa identitas si pengecut ini. Sayangnya resiko tersebut akan terjadi dengan peluang yang sangat kecil karena penebar isu ini menutupi kepalanya dengan akun yang tidak terdefinisikan.

Fenomena hate speech menjadi trending di era sekarang. Nggak Cuma di Indonesia, tapi di luar negeri pun fenomena semacam ini juga kerap terjadi. Semua orang siapa aja itu bisa menjadi korbannya, bahkan mungkin komunitas-komunitas pun banyak yang tercemar namanya gara-gara si pengecut berkedok akun abal-abal. Di sini mereka bebas sekali mengekspresikan opini dan pendapat mereka yang sering kali omongan mereka tidak menunjukkan sebagai manusia beradab. ‘Nggak mikir pake otak atau perasaan lah sebelum berkomentar’, bahasa gaulnya. Terlepas itu menyakiti atau merugikan saudara kita, mereka nggak peduli. Yang penting bisa memuaskan diri dan tertawa karena berita yang mereka koar-koarkan berhasil menghasut netizen. Menurut saya, banyak hate speech yang bertebaran sebagai bentuk pelampiasan mereka yang nggak puas atau kurang bersyukur akan kehidupan mereka, serta menaruh iri sama kehidupan lain membuat mereka berpikir keras menyusun kata-kata yang dijadikan isu kebencian. Daripada menyalahkan diri sendiri dan introspeksi, mereka malah ngelempar atau melampiaskan ke orang lain.

Parahnya lagi, para pelaku yang pengecut ini sok tau akan kehidupan orang lain yang sebenarnya mereka sendiri itu nggak tau apa-apa perihal kehidupan kita. Alhasil, sederet isu yang diproklamasikan lewat media sosial membuat diri kita yang jadikan korban syok, bahwa realitanya kehidupan kita jauh dari yang diomongin si haters ini. Mirisnya lagi, banyak orang Indonesia yang kemakan berita hoax dan ribut adu argumen di kolom komen instagram yang mana isu tersebut kebenarannya masih mengambang.

Hate speech is big issue, wahai warganetIni bisa merugikan banyak pihak dan bisa berdampak ke mental si korban. Wahai netizen yang terhormat, saya yakin kita bisa mengubah keadaan sosial media saat ini menjadi lebih baik dimulai dari kesadaran diri masing-masing. Sikap bijak dalam menggunakan sosial media dan bertutur kata di era digital ini sangat diperlukan dan harus dilatih pada diri masing-masing pribadi. Saat isu yang megandung unsur kebencian mula ter-broadcast pada ponsel kalian masing-masing, jangan langsung percaya dan menjatuhkan judgment, apalagi langsung menyebarkan dengan sedikit perubahan. Jangan netizen yang terhormat. Coba belajar jadi pribadi yang melek media.

Literasi media atau Melek Media adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif, ketika individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Media literasi merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut. Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Berlatih untuk kritis dalam menyikapi informasi atau tulisan. Jika memungkinkan ialah klarifikasi pada yang orang yang bersangkutan. Atau jika terjadi pada orang di sekitar kita, kalian juga bisa mengkorelasikan dengan prilaku sehari-hari pada korban isu tersebut.

Tidak lebih tulisan ini hanyalah opini belaka dan asumsi anak muda yang baru belajar. Tidak bermaksud negatif atau apa, hanya ingin mengekspresikan opini semata yang mungkin berbeda pandangan dengan pembaca.



Sekian.

#stophatespeech #kitabijakdalammedsos






REFERENSI

https://www.liputan6.com/tekno/read/3128947/6-prediksi-robot-seks-di-masa-depan-yang-mengejutkan

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwiB3Lu34LLdAhUHM48KHT1eBeMQFjAAegQIARAC&url=http%3A%2F%2Fjurnal.fisip.unila.ac.id%2Findex.php%2Fprosidingkom%2Farticle%2Fdownload%2F274%2F175&usg=AOvVaw3LWUW05ZmvL0penoTLt5VM

https://www.jawapos.com/nasional/hukum-kriminal/26/03/2017/siber-polri-beberkan-beda-aturan-hate-speech-di-amerika-dan-indonesia 


NB: Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas sebagai staff muda EM 2018 dan waktu nulis ini saya belum bisa buat daftar pustaka yang benar. Sekarang udah bisa tapi malas mau memperbaiki.




You May Also Like

0 komentar